Epistimologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam
Epistimologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam
Dalam UU RI No. 2 Tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), Bab II Pasal 4, dijelaskan bahwa: ”Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan bangsa”. Ini merupakan salah satu dasar dan tujuan dari pendidikan nasional yang seharusnya menjadi acuan bangsa Indonesia.
Fenomena yang kita saksikan bersama, pendidikan hingga kini masih belum menunjukkan hasil yang diharapkan sesuai dengan landasan dan tujuan dari pendidikan itu. Membentuk manusia yang cerdas yang diimbangi dengan nilai keimanan, ketaqwaan dan berbudi pekerti luhur, belum dapat terwujud. Gejala kemerosotan nilai-nilai akhlak dan moral dikalangan masyarakat sudah mulai luntur dan meresahkan. Sikap saling tolong-menolong, kejujuran, keadilan dan kasih sayang tinggal slogan belaka.
Krisis akhlak pada elite politik terlihat dengan adanya penyelewengan, penindasan, saling menjegal atau adu domba, fitnah dan perbuatan maksiat lainnya. Pada lapisan masyarakat, krisis akhlak juga terlihat pada sebagian sikap mereka yang sangat mudah merampas hak orang lain, misalnya menjarah, main hakim sendiri, melanggar peraturan tanpa merasa bersalah, mudah terpancing emosi, mudah diombang-ambingkan dan perbuatan lain yang merugikan orang lain atau diri sendiri. Kemerosotan nilai-nilai moral yang tadinya hanya menerpa sebagian kecil elite politik dan sebagian masyarakat yang lebih tepatnya pada orang dewasa yang mempunyai kedudukan, jabatan, profesi dan kepentingan, kini telah menjalar pada masyarakat kalangan pelajar. Banyaknya keluhan orang tua, guru, pendidik dan orang-orang yang berkecimpung dalam bidang keagamaan serta pengaduan masyarakat sosial umumnya, yang berkenaan dengan ulah sebagian pelajar yang sukar dikendalikan, nakal, sering bolos sekolah, tawuran, merokok, mabuk-mabukan dan lebih pilu lagi sudah memasuki dunia pornografi.
Pada saat ini sudah menjadi kenyataan timbulnya kemerosotan nilai akhlak generasi muda atau kalangan pelajar, yang pada prinsipnya adalah karena mereka tidak mengenal agama, tidak diberikan pengertian agama yang cukup, sehingga sikap dan tindakan serta perbuatannya menjadi liar. Adanya sikap, tindakan dan perbuatan yang tidak bertanggung jawab ini bila dibiarkan terus, maka tak ayal lagi kalau generasi mendatang akan diliputi kegelapan dan hancurnya tatanan perikehidupan umat manusia.
1. Sebab Timbulnya Krisis Akhlak
Adapun yang menjadi akar masalah penyebab timbulnya krisis akhlak dalam masyarakat cukup banyak, yang terpenting diantaranya adalah:
Pertama, krisis akhlak terjadi karena longgarnya pegangan terhadap agama yang menyebabkan hilangnya pengontrol diri dari dalam (self control). Selanjutnya alat pengontrol perpindahan kepada hukum dan masyarakat. Namun karena hukum dan masyarakat juga sudah lemah, maka hilanglah seluruh alat kontrol. Akibatnya manusia dapat berbuat sesuka hati dalam melakukan pelanggaran tanpa ada yang menegur.
Kedua, krisis akhlak terjadi karena pembinaan moral yang dilakukan oleh orang tua, sekolah dan masyarakat sudah kurang efektif. Bahwa penanggung jawab pelaksanaan pendidikan di negara kita adalah keluarga, masyarakat dan pemerintah. Ketiga institusi pendidikan sudah terbawa oleh arus kehidupan yang mengutamakan materi tanpa diimbangi dengan pembinaan mental spiritual.
Ketiga, krisis akhlak terjadi karena derasnya arus budaya hidup materialistik, hedonistik dan sekularistik. Derasnya arus budaya yang demikian didukung oleh para penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan material dengan memanfaatkan para remaja tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan akhlak para generasi penerus bangsa.
Keempat, krisis akhlak terjadi karena belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Kekuasaan, dana, tekhnologi, sumber daya manusia, peluang dan sebagainya yang dimiliki pemerintah belum banyak digunakan untuk melakukan pembinaan akhlak bangsa. Hal yang demikian semakin diperparah dengan ulah sebagian elite politik penguasa yang semata-mata mengejar kedudukan, kekayaan dan sebagainya dengan cara-cara yang tidak mendidik, sepeati adanya praktek korupsi, kolusi dan Nepotisme (KKN). Hal yang demikian terjadi mengingat bangsa Indonesia masih menerapkan pola hidup paternalistik.
Fenomena yang kita saksikan memang benar, bahwa nilai-nilai akhlak dan moral yang berkembang kini telah jauh dari harapan dan sangat mengkhawatirkan. Sebagai kambing hitamnya sering kita menyalahkan dunia pendidikan yang bertanggung-jawab atas semua yang terjadi. Rasanya memang ada benarnya juga kalau dipikirkan secara mendalam, sebab kemerosotan nilai-nilai itu tak terlepas dari peran dunia pendidikan yang tugas salah satunya adalah mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mendidik nilai-nilai moral bangsa.
Belakangan ini, berbagai seminar digelar kalangan pendidik yang bertekad mencari solusi untuk mengatasi krisis akhlak. Pera pemikir pendidikan menyerukan agar kecerdasan akal diikuti dengan kecerdasan moral, pendidikan agama. Pendidikan moral harus siap menghadapi tantangan global, pendidikan harus memberikan kontribusi yang nyata dalam mewujudkan masyarakat yang semakin berbudaya (masyarakat madani).
2. Langkah yang ditempuh untuk mengatasi krisis moral
Sejalan dengan sebab-sebab timbulnya krisis akhlak tersebut di atas, maka cara untuk mengatasinya dapat ditempuh dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, pendidikan akhlak dapat dilakukan dengan menetapkan pelaksanaan pendidikan agama, baik di rumah, sekolah maupun masyarakat. Hal yang demikian diyakini, karena inti ajaran agama adalah akhlak yang mulia yang bertumpu pada keimanan kepada Tuhan dan keadilan sosial. Pengajaran agama hendaknya mendapat tempat yang teratur seksama, hingga cukup mendapat perhatian yang semestinya dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang hendak mengikuti kepercayaan yang dianutnya. Madrasah-madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya merupakan salah satu alat dan sumber pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan beragama yang telah berurat dalam masyarakat umumnya, maka hendaklah mendapat perhatian dan bantuan baik material ataupun dorongan spiritual dari pemerintah.
Kedua, dengan mengintegrasikan antara pendidikan dan pengajaran. Hampir semua ahli pendidikan sepakat, bahwa pengajaran hanya berisikan pengalihan pengetahuan (transfer of knowladge), keterampilan dan pengalaman yang ditujukan untuk mencerdaskan akal dan memberikan keterampilan. Sedangkan pendidikan tertuju kepada upaya membantu kepribadian, sikap dan pola hidup yang berdasarkan nilai-nilai yang luhur. Pada setiap pengajaran sesungguhnya terdapat pendidikan dan secara logika keduanya telah terjadi integrasi yang penting. Pendidikan yang merupakan satu cara yang mapan untuk memperkenalkan pelajar (learners) melalui pembelajaran dan telah memperlihatkan kemampuan yang meningkat untuk menerima dan mengimplementasikan alternatif-alternatif baru untuk membimbing perkembangan manusia[10]. Dengan integrasi antara pendidikan dan pengajaran diharapkan memberikan kontribusi bagi perubahan nilai-nilai akhlak yang sesuai dengan tujuan pendidikan dalam menyongsong hari esok yang lebih cerah.
Ketiga, bahwa pendidikan akhlak bukan hanya menjadi tanggung jawab guru agama saja, melainkan tanggung-jawab seluruh guru bidang studi. Guru bidang studi lainnya juga harus ikut serta dalam membina akhlak para siswa melalui nilai-nilai pendidikan yang terdapat pada seluruh bidang studi.
Melekatnya nilai-nilai ajaran agama pada setiap mata pelajaran atau bidang studi umum lainnya yang bukan pelajaran agama mempunyai nilai yang sangat penting dalam upaya mengembangkan nilai keagamaan pada anak didik. Melalui mata pelajaran umum selain siswa dapat memperlajari substansi, prinsip-prinsip dan konsep-konsep dari ilmu pengetahuan itu, diharapkan juga ada dimensi nilai yang terkandung dalam pendidikan itu. Dalam pembelajaran siswa mempunyai kewajiban agar mentaati peraturan tertulis, etika, adab sopan santun dan norma-norma umum lainnya. Selain itu siwa dapat belajar untuk lebih mencintai lingkungan, baik di sekolah, keluarga atau masyarakat.
Melalui pendidikan bidang studi lainnya, siswa juga dapat lebih memahami betapa agung dan perkasanya Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan alam semesta ini dengan segala isinya yang berjalan dengan tertib, sesuai dengan hukum-hukum Allah (sunnatullah) yang juga disebut hukum alam. Siswa akan menyadari bahwa apa yang terjadi di alam semesta ini pada dasarnya berasal dari Yang Maha Mencipta. Inilah pendidikan mata pelajaran bidang studi umum sebagai contoh yang menjadi wahana untuk pendidikan nilai-nilai agama.
Keempat, pendidikan akhlak harus didukung oleh kerjasama yang kompak dan usaha yang sungguh-sungguh dari orang tua (keluarga), sekolah dan masyarakat. Orang tua di rumah harus meningkatkan perhatiannya terhadap anak-anaknya dengan meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, keteladanan dan pembiasaan yang baik. Orang tua juga harus berupaya menciptakan rumah tangga yang harmonis, tenang dan tenteram, sehingga anak akan merasa tenang jiwanya dan dengan mudah dapat diarahkan kepada hal-hal yang positif.
Tiga pusat pendidikan (keluarga, sekolah dan masyarakat) secara bertahap dan terpadu mengemban suatu tanggung jawab pendidikan bagi generasi mudanya. Ketiga penanggung jawab pendidikan ini dituntut melakukan kerjasama di antara mereka baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan saling menopang kegiatan yang sama secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Dengan kata lain, perbuatan mendidik yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak juga dilakukan oleh sekolah dengan memperkuat serta dikontrol oleh masyarakat sebagai lingkungan sosial anak.
Pendidikan keluarga adalah benteng utama tempat anak-anak dibesarkan melalui pendidikan dan di sinilah peran utama orang tua sebagai pendidik yang akan mendasari dan mengarahkan anak-anaknya pada pendidikan selanjutya. Dalam Islam, rumah keluarga muslim adalah benteng utama tempat anak-anak dibesarkan melalui pendidikan Islam. Adapun yang menjadi tujuan pendidikan dalam Islam adalah: mendirikan syariat Allah dalam segala permasalahan rumah tangga; Mewujudkan ketenteraman dan ketenangan psikologis; Mewujudkan sunnah Rasulullah saw. Dengan melahirkan anak-anak saleh; Memenuhi kebutuhan cinta kasih anak-anak; dan Menjaga fitrah anak agar tidak melakukan penyimpangan-penyimpangan. Tanggung-jawab pendidikan keluarga ada di pundak para orang tua, sehingga anak-anak terhindar dari kerugian, keburukan, mengingat banyaknya sendi kehidupan sosial yang melenceng dari tujuan pendidikan.
Pendidikan sekolah adalah pendidikan yang diperoleh seseorang di sekolah secara teratur, sistematis, bertingkat dan mengikuti syarat-syarat yang jelas dan ketat. Pada dasarnya pendidikan sekolah merupakan bagian dari pendidikan dalam keluarga, yang sekaligus juga merupakan kelanjutan dari pendidikan keluarga. Sekolah merupakan jembatan bagi anak yang menghubungkan kehidupan keluarga dengan kehidupan dalam masyarakat kelak.
Pendidikan Masyarakat ditandai dengan adanya mosi Mangunsarkoro yang ditujukan kepada Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), yang mendesak pemerintah agar memberi perhatian lebih banyak pada pendidikan masyarakat dan kemudian diterima, maka pada 1 Januari 1946 terbentuklah Bagian Pendidikan Masyarakat pada Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Adapun isinya menjelaskan dengan tegas: (1) Memberantas buta huruf, (2) Menyelenggarakan kursus pengetahuan umum, dan (3) Mengembangkan perpustakaan rakyat. Dengan adanya pendidikan ini, diharapkan pendidikan diharapkan sebagai proses pembudayaan kodrat alam yang merupakan usaha memelihara dan memajukan serta mempertinggi dan memperluas kemampuan-kemampuan kodrati untuk mempertahankan hidup.
Proses pembudayaan pendidikan yang bertujuan membangun kehidupan individual dan sosial yang bercita-cita untuk membangun manusia yang merdeka lahir dan batin. Manusia yang merdeka lahir dan batin maksudnya adalah tertanamnya dalam diri setiap individu tiang-tiang kemerdekaan hidup, yang memiliki kecakapan panca indera, ketajaman berpikir, kejernihan berperasaan, kemantapan dan kuatnya kemauan serta keluhuran budi pekerti.
Kelima, pendidikan akhlak harus menggunakan seluruh kesempatan, berbagai sarana termasuk tekhnologi modern. Kesempatan berekreasi, pameran, kunjungan, berkemah dan kegiatan lainnya harus dilihat sebagai peluang untuk membina akhlak. Demikian juga dengan sarana yang telah canggih pada masa kini, seperti: siaran TV, Handphone (HP), surat kabar, majalah, internet dan tekhnologi lainnya tidak disalahgunakan, sehingga sarana tersebut dapat mempermudah proses pendidikan demi terwujudnya akhlak yang baik.
Diakui bahwa sistem pendidikan yang kita miliki dan dilaksanakan selama ini masih belum mampu mengikuti dan mengendalikan kemajuan tekhnologi, sehingga dunia pendidikaan belum dapat menghasilkan tenaga-tenaga pembangunan yang terampil, kreatif dan aktif, yanng sesuai dengan tuntutan mansyarakat luas. Bahaya dan masalah negatif yang ditimbulkan dengan perkembangan ilmu dan tekhnologi, sebisa mungkin dijauhi dan dihilangkan atau sekurangnya dapat di minimalisir. Bagaimanapun berkembangnya ilmu pengetahuan modern menghendaki dasar-dasar pendidikan yang kokoh dan penguasaan kemampuan yang terus menerus.
Pendapat Harold G. Shane dalam bukunya yang berjudul “Arti Pendidikan Bagi Masa Depan”, ada beberapa karakteristik dari desain pendidikan yang akan muncul untuk kehidupan di masa depan, karakteristik itu adalah:
- Tekanan perlu diberikan pada mendapatkan kembali, dalam bentuk yang jelas, disiplin sosial yang telah menuntun orang Barat dan barangkali yang telah menuntun sebagian besar umat manusia, sebelum timbulnya krisis nilai sekarang ini. Krisis yang sifatnya relatifisme dan permisif ini mengganggu keterikatan orang pada norma-norma yang ditetapkan kebudayaan yang menuntun setiap individu agar berbuat menurut cara tertentu. Kita harus bergerak maju menuju nilai-nilai dan tipe hidup yang baru yang diperlukan dalam menyongsong masa depan.
- Melalui pendidikan, serangan akan dilancarkan terhadap kubu materialisme yang kuat, secara spesifik, terhadap kekeliruan yang telah meletakkan kepercayaan besar pada nilai-nilai materialisme. Diharapkan melalui pendidikan dapat mengubah nilai-nilai yang selama ini bersifat “cinta benda” yaitu selera besar untuk memperoleh benda-benda konsumsi yang tak terkendalikan.
- Bahaya dan masalah penggunaan tekhnologi dalam menyongsong hidup di masa depan. Dengan pendidikan diharapkan dapat meminimalisir bahaya dan masalah tekhnologi, sehingga menjadikan tekhnologi itu sarana penting dalam memperbaiki kedudukan manusia dan perlunya dipikirkan lagi agar pemanfaatan tekhnologi dapat diinjeksikan ke dalam kurikulum.
- Kurikulum harus mulai responsif secara lebih memadai terhadap ancaman kerusakan atau krisis nilai yang menimpa lingkungan sosialnya. Secara paten, pendidikan akan mempunyai peranan penting saat keputusan-keputusan sosial yang penting dicapai berkenaan dengan kebijakan nasional dan dalam keadaan bagaimanapun juga terdapat banyak dasar untuk memulainya di sekolah.
- Pendidikan perlu terus mendidik pelajar supaya keluaran pendidikan yang baru dapat membuat pelajar menghadapi potensi kekuatan media massa dalam bentuk opini dan sikap publik.
Inilah sosok pendidikan yang berkembang kini, dan bagaimana sosok masyarakat masa depan dengan nilai-nilainya yang dominan. Memang kita semua mengetahui betapa sektor pendidikan selalu terbelakang dalam berbagai sektor pembangunan lainnya, bukan karena sektor itu lebih di lihat sebagai sektor konsumtif juga karena pendidikan adalah penjaga status quo masyarakat itu sendiri[17]. Pendidikan merupakan sebagian dari kehidupan masyarakat dan juga sebagai dinamisator masyarakat itu sendiri. Dalam aspek inilah peran pendidikan memang sangat strategis karena menjadi tiang sanggah dari kesinambungan masyarakat itu sendiri.
Proses perubahan tata nilai akan berjalan sesuai dengan dinamika masyarakat dalam era tertentu. Selain itu nilai-nilai pada generasi yang mendahului sebagian atau keseluruhan masih tetap hidup dalam generasi berikutnya. Nilai-nilai yang dominan pada setiap generasi ada yang bersifat positif dan ada yang negatif, maka kita perlu mengidentifikasinya dan waspada sehingga kita bisa menyaring mana yang perlu dihidari dan mana yang perlu diambil untuk kemajuan di masa mendatang.
Salah satu tugas dari Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), yakni menjaga, melestarikan dan membangun nilai-nilai luhur bangsa. Dalam perkembangannya, generasi nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia kita lihat adanya nilai-nilai antar generasi. Pendidikan menjadikan nilai-nilai dasar akan semakin kokoh dalam perjalanan kehidupan bangsa, seperti nasionalisme dan patriotisme sebagai nilai-nilai generasi pertama dari perjalanan hidup bangsa. Sudah tentu nilai-nilai luhur itu perlu ditempa, dihaluskan dan diasah terus menerus sesuai dengan perubahan kehidupan
SUMBER-SUMBER ARTIKEL DI ATAS :
Drs. Moh. Saifulloh al-Aziz, Milenium Menuju Masyarakat Madani, Terbit terang, Surabaya, 2000.
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA., Manajemenen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, Kencana, Bogor, 2003.
Drs. H.M. Arifin M.Ed., Kapita Selekta Pendidikan, Umum dan Agama, CV. Toha Putra, Semarang.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT. Balai Pustaka, Jakarta, 1997.
Aminuddin Rasyad, dalam Ahmad Tafsir, Epistimologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, Bandung:Fak.Tarbiyah MIN Sunan Gunung Jati,1995
Warul Walidin AK, Strategi Peniheniukan Nilai, Upaya Pengembangan Dimensi Afektif, Jurnal Didaktika, Vol 1, No.2, 2 September 2000
Hasan Langgulung, Asas-Avas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992
H.Una Kartawisastra dkk, dalam Noeng Muhadjir, Teknologi Pendidikan, Yogyakarta,IAIN Sunan Kalijaga
H.M. Arifin , Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1994.
Nasir Budiman, Pendidikan Moral Qurani, Disertasi, Yogyakarta : MIN Sunan Kalijaga, 1996
Ali Ashraf, Horizon Baru Pendidikan Islam, Jakarta : Pustaka Firdaus,1996.
M. Nasir Budiman, Pendidikan Dalam Perspektif Al Quran, Jakarta: Madam Press,2001
Sam M. Chan dan Tuti T. Sam, Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.
Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Harold G. Shane, Arti Pendidikan Bagi Masa Depan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.
Abdurrahman An-Nawawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah danMasyarakat, Penerjemah: Shihabudin, Gema Insani Press, 1995.
Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc.Ed., Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001.
Belum ada Komentar untuk "Epistimologi Untuk Ilmu Pendidikan Islam"
Posting Komentar